Di Balik Papan Putih dan Layar LCD
Di Balik Papan Putih dan Layar LCD
Mentari pagi menyibak kabut tipis di Way Laga. Udara masih segar saat beberapa guru berseragam batik MGMP Bahasa Inggris berdatangan ke halaman MTs Baani Salim. Suasana tampak bersahaja namun hangat. Di ruang pertemuan, meja-meja disusun melingkar, spanduk bertuliskan “Pertemuan MGMP Bahasa Inggris MTs Kota Bandar Lampung” tergantung di dinding.
Sunarto, M.Ed., Ketua MGMP, membuka pertemuan dengan senyum tenang, “This is our fourth meeting. The first was held in MTsN 1 Bandar Lampung, the second in MTs Jabbal An Nur, the third in MTsN 2 Bandar Lampung, and today we are here in MTs Baani Salim.”
Tangan-tangan mencatat, kepala-kepala mengangguk, dan di antara mereka, Winarno duduk sambil membolak-balik file presentasinya. Hari ini, ia dijadwalkan membawakan materi tentang pemanfaatan Kahoot! secara offline. Sebuah topik yang lahir dari keresahan sederhana—bagaimana membuat kelas tetap hidup walau tanpa jaringan internet yang memadai.
Kepala MTs Baani Salim, Zainal Abidin, berdiri menyambut hangat para peserta. “Keberadaan MGMP sangat penting,” katanya, “ke depan, MGMP harus mampu menghasilkan soal-soal terstandar yang digunakan untuk penilaian akhir semester.”
Seketika ruangan menjadi lebih tenang. Ada beban tanggung jawab yang terasa, tapi juga kepercayaan. Para guru saling pandang dan saling paham. Mereka bukan sekadar pengajar, tetapi arsitek masa depan.
Ibu Isnaini Ramadhona kemudian memandu sesi pembahasan perangkat pembelajaran. Dengan tenang dan terstruktur, ia menunjukkan beberapa dokumen yang telah diperbarui, memancing diskusi tentang strategi dan kendala di masing-masing madrasah.
Saat waktu beralih ke sesi berikutnya, Winarno maju ke depan dengan membawa laptop dan sebuah kotak kecil berisi kertas-kertas berwarna.
“Bapak dan Ibu sekalian,” ucapnya sambil tersenyum, “hari ini kita tidak butuh koneksi internet. Tapi kita tetap akan bermain Kahoot—versi manual.”
Tawa kecil terdengar. Winarno mulai menjelaskan bagaimana konsep Kahoot offline bekerja. Ia membagikan lembar soal bergaya kuis dengan pilihan jawaban warna-warni seperti pada layar digital. Para guru menjawab, kemudian saling mengoreksi jawaban sambil bercanda.
“Tentu ini ada kekurangannya,” ujar Winarno jujur, “guru harus memeriksa jawaban secara manual. Tapi setidaknya, anak-anak tetap bisa merasakan semangat kompetisi dan kebahagiaan belajar, tanpa harus tergantung pada sinyal.”
Tiba-tiba ruangan itu tidak hanya berisi pertemuan bulanan biasa. Ia menjadi ruang lahirnya inovasi kecil, namun bermakna. Sebuah langkah maju dari para guru yang bersahaja tapi gigih. Di balik papan tulis dan layar LCD, ada semangat untuk terus menyalakan cahaya ilmu, meski harus dengan cara yang sederhana.
Sebelum pertemuan ditutup, secangkir kopi dan sepiring kue talam dibagikan. Tawa ringan dan cerita antar madrasah mengalir hangat.
Winarno menyimpan kembali kertas-kertasnya. Ia tahu, tidak semua inovasi akan tampak spektakuler. Tapi ia percaya, jika satu anak saja bisa tertawa karena pelajaran Bahasa Inggris hari itu terasa menyenangkan, maka semuanya tidak sia-sia.
Langit Way Laga mulai mendung saat para guru pamit. Tapi di dada mereka, cahaya tetap menyala. Di tiap madrasah, mereka akan kembali—membawa semangat dari ruang kecil itu, ke ruang kelas yang lebih luas: kehidupan.
Komentar
Posting Komentar